INILAHCOM, Jakarta - Polemik aturan interkoneksi operator telekomunikasi semakin hangat beberapa bulan terakhir. Polemik tersebut dinilai tidak perlu dibawa ke ranah hukum dengan menyeret lembaga negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Hal tersebut diungkapkan Nonot Harsono, mantan Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) periode 2009-2015, menegaskan hal itu menanggapi komentar dari petinggi BPK dan isu di media bahwa polemik interkoneksi akan dibawa ke KPK.
�Andai negara memilih sistem monopoli dalam menyediakan jaringan komunikasi bagi masyarakat, maka tentu tidak ada keributan interkoneksi karena hanya ada satu operator yang melayani seluruh rakyat," ujar Nonot dalam keterangan tertulis kepada INILAHCOM.
"Namun, negara memilih sistem persaingan (multi operator) sehingga ada lebih dari satu jaringan komunikasi. Sebagian masyarakat menjadi pelanggan dari satu operator, sebagian lagi memilih menjadi pelanggan operator yang lain," imbuhnya.
Karena itu, lanjut Nonot, agar pelanggan dari setiap operator dapat terhubung dengan pelanggan dari operator yang manapun, semua jaringan komunikasi itu harus saling tersambung (ber-interkoneksi). Karena itulah Undang-Undang Telekomunikasi mewajibkan interkoneksi antar jaringan (Pasal 25 UU 36/1999 dan Pasal 20-25 PP No 52 tahun 2000)
Tanpa interkoneksi, menurut Nonot, masyarakat pengguna/pelanggan hanya bisa melakukan panggilan telepon on-net (dalam jaringan satu operator) dan tidak mungkin off-net (lintas operator).
Di sisi lain, jika tidak ada interkoneksi, masyarakat harus menjadi pelanggan semua operator dan memiliki kartu SIM minimal sebanyak jumlah operator.
�Jika dia hanya punya satu ponsel, maka dia harus buka-tutup ponsel untuk gonta-ganti kartu SIM agar bisa menelepon ke semua nomor. Atau dia harus punya banyak ponsel. Terbayang betapa ribetnya. Karena itu, interkoneksi diwajibkan demi melayani masyarakat,� paparnya.
Ditegaskan olehnya, hal yang menjadi perhatian dalam interkoneksi adalah berapa trafik outgoing-call ke operator lain dan berapa incoming-call dari operator lain.
Trafik dua arah ini menentukan selisih biaya antara (outgoing-traffic x tarif) dan (incoming-traffic x tarif).
�Orang bisa salah persepsi jika hanya melihat trafik satu arah,� jelasnya.
Jika trafik telepon ke operator lain (outgoing-traffic) sama dengan trafik yang diterima dari operator lain (incoming-traffic), kata dia, maka kedua operator itu sama-sama impas. Artinya, biaya interkoneksi yang harus dibayar sama dengan yang diterima.
Pada umumnya, operator besar menerima trafik lebih besar karena jumlah pelanggan yang besar, sehingga bisa menerima pembayaran biaya interkoneksi lebih besar daripada operator yang lebih kecil.
Sebaliknya, operator yang kecil harus membayar biaya interkoneksi yang besar untuk sekadar menyambungkan pelanggannya yang sedang menelepon pelanggan operator lain.
Hitungan Interkoneksi versi Nonot
Kasus 1: Trafik dua arah seimbang. Misalnya, outgoing-traffic dari ISAT ke TSEL = 1 miliar menit dan incoming-traffic dari TSEL ke ISAT = 1 miliar menit. Trafik dua arah sama besar.
Jika tarif interkoneksinya Rp500, maka ISAT membayar ke TSEL sebesar 1 miliar menit x Rp500 = Rp500 miliar dan menerima dari TSEL sebanyak Rp500 miliar juga.
Biaya interkoneksi yang diterima ISAT dari TSEL sebesar Rp500 miliar, maka sebesar itu pula ISAT membayar kepada TSEL.
�Impas, tidak ada yang untung ataupun rugi,� kata Nonot.
Maka pada situasi trafik yang hampir selalu seimbang, kadang disepakati sistem sender keep all (SKA). Artinya, tidak perlu ada tagihan biaya interkoneksi karena yang diterima sama dengan yang dibayarkan.
�Tapi bagi yang suka bikin kegaduhan, dia akan dengan lebay mengatakan ada penurunan pendapatan sebesar Rp500 miliar," jelasnya.
Kasus 2: Trafik dua arah tidak seimbang. Misalnya, outgoing traffic ISAT ke TSEL = 1,2 miliar menit dan incoming traffic dari TSEL ke ISAT = 1 miliar menit.
Jika tarif biaya interkoneksi = Rp200 per menit, maka ISAT membayar ke TSEL sebesar 1.2 miliar menit x Rp200 = Rp240 miliar dan akan menerima dari TSEL sebesar Rp200 miliar. Maka dalam kasus ini, ISAT defisit Rp40 miliar dan TSEL surplus Rp40 miliar.
Namun, jika biaya interkoneksi diturunkan menjadi Rp100, maka angka-angka di atas berubah menjadi sebagai berikut; ISAT membayar ke TSEL sebesar 1,2 miliar x Rp100 = Rp120 miliar dan ISAT menerima dari TSEL sebesar 1 miliar menit x Rp100 = Rp100 miliar.
Maka TSEL surplus Rp20 miliar dan ISAT defisit Rp20 miliar. Ada penurunan angka surplus dari Rp40 miliar menjadi Rp20 miliar di sisi TSEL, dan ada pengurangan beban biaya di sisi ISAT dari Rp40 miliar menjadi Rp20 miliar.
Kasus 3: trafik dua arah tidak seimbang (ada kemungkinan pola trafiknya kebalikan dari kasus 2). Misalnya, outgoing traffic ISAT ke TSEL = 1,0 miliar menit dan incoming traffic dari TSEL = 1,2 miliar menit.
Jika tarif biaya interkoneksi = Rp200 per menit, maka ISAT membayar ke TSEL sebesar 1,0 miliar menit x Rp200 = Rp200 Miliar dan akan menerima dari TSEL sebesar Rp240 miliar. Dalam kasus 3, TSEL defisit Rp40 miliar dan ISAT surplus Rp40 miliar.
Apabila biaya interkoneksi diturunkan menjadi Rp100, maka angka-angka di atas berubah menjadi sebagai berikut: ISAT membayar TSEL sebesar 1,0 miliar menit x Rp100 = Rp100 miliar dan ISAT menerima dari TSEL sebesar 1,2 miliar menit x Rp100 = Rp120 miliar.
Maka ISAT surplus Rp20 miliar dan TSEL defisit Rp20 miliar. Ada penurunan angka surplus dari Rp40 miliar menjadi Rp20 miliar di sisi ISAT, dan ada pengurangan beban biaya di sisi TSEL dari Rp40 miliar menjadi Rp20 miliar. Untuk kasus ini, penurunan biaya interkoneksi justru menguntungkan TSEL.
�Akan heboh jika yang diangkat ke media adalah penurunan dari Rp240 miliar ke Rp 100 miliar atau ada selisih penerimaan sementara sebesar Rp140 miliar; lalu dibilang operator A rugi Rp140 miliar akibat turunnya tarif interkoneksi. Padahal yang terjadi adalah penurunan surplus interkoneksi sebesar Rp20 miliar saja,� tegasnya.
Nonot juga mempertanyakan apakah surplus Rp20 miliar itu patut diklaim sebagai keuntungan, karena sesungguhnya ini adalah biaya tambahan (biaya off-net) yang harus dibayar oleh pelanggan untuk bisa menelepon ke pelanggan operator lain.
�Sungguh berbahaya menuduh atau melontarkan isu kerugian negara dalam hal interkoneksi. Padahal yang dinyatakan sebagai angka kerugian itu adalah beban biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk sekadar bisa tersambung ke pelanggan dari operator yg berbeda,� paparnya.
Seperti diketahui pemerintah menerapkan regulasi baru terkait penurunan tarif interkoneksi menimbulkan polemik dimana tarif baru interkoneksi yang lebih rendah rata-rata 26% dari Rp250 menjadi Rp204 per menit, sedianya diberlakukan mulai 1 September 2016, namun ditunda mengingat belum semua operator telekomunikasi menyerahkan DPI (Dokumen Penawaran Interkoneksi), yang berisi skema, tarif, dan layanan interkoneksi suatu operator.
Operator yang telah menyerahkan DPI tersebut adalah Indosat, XL, Hutchison Tri Indonesia, dan Smartfren. Berbeda kubu Telkom dan Telkomsel bersikukuh menolak menyerahkan DPI akibat tidak setuju dengan kebijakan penurunan biaya interkoneksi yang telah ditetapkan.
0 Response to "Soal Interkoneksi Diminta Tak Seret BPK dan KPK"
Post a Comment